Candi Pangkuan mungkinkah sebagai candi terkecil

Begitu mendengar kata Candi Pangkuan, orang orang yang tinggal di sekitar area tersebut pasti akan teringat akan adanya sepetak tanah berupa hutan tua yang berada diantara perkampungan nun jauh dari keramaian kota. Tepatnya berada di Desa Cilibur, Kecamatan Paguyangan, kabupaten Brebes, propinsi Jawa Tengah Kode Pos 52276.



Sepetak Hutan lindung dan merupakan Cagar alam dengan luas hanya sekitar 200mx200m yang hingga kini masih rimbun oleh pepohonan masa purba itulah yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai bentuk fisik Candi Pangkuan.

Padahal anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena Candi Pangkuan yang sesungguhnya adalah sebuah benda yang berbentuk balok dengan sentuhan pahat di 2/3 bagian atasnya, hingga membuat candi dengan ukuran sekitar 20cmx20cmx50cm itu bagian bawahnya berbentuk balok namun bagian atasnya berbentuk tabung.



Mungkin ini merupakan Candi terkecil dalam sejarah!

Benda dengan bahan baku batu yang bernama Candi pangkuan itu hingga saat ini masih tersimpan utuh ditengah Cagar alam tersebut.

Karena peninggalan tersebut sepertinya tidak sempat tercatat dalam sejarah, ini membuat guruKATRO tidak pernah menemukan kisah dalam bentuk tertulis, maka disini ceritanya hanya mengandalkan tuturan orang-orang tua saja, dan beliau-beliau juga hanya punya modal bila cerita itu juga didapat dari orang yang lebih tua lagi, hingga kini cerita turun temurun itu telah mengalir lebih dari tiga generasi. Yang cukup membuat repot adalah dari beberapa orang yang sempat diminta penjelasannya, ada beberapa perbedaan cerita diantara mereka.

(Konon) cerita yang hampir sama diantara mereka adalah Candi tersebut merupakan peninggalan penganut Budha, dan tempat itu sebenarnya hanya dijadikan sarana persinggahan saja. Namun hal itu sempat pula diragukan oleh yang lain, karena di sekitar candi tersebut dan hingga kini masih di dalam area hutan tua itu ada beberapa nisan yang menandakan kuburan, ukuran panjang kuburannya diatas rata rata ukuran orang sekarang, ada yang sepanjang hampir 2 meter.



Dengan adanya beberapa kuburan kuno tersebut, ada kemungkinan bila tempat itu bukan hanya sebuah persinggahan, lebih jauh malah mungkin dijadikan tempat tinggal.

Terlepas dari asal muasal adanya peninggalan itu, yang dibahas disini adalah tentang apa sebenarnya (dari versi konon juga) Candi kecil itu, serta keberadaannya yang hingga kini masih ada disana, padahal telah lebih dari setengah abad keyakinan masyarakat sekitar sudah tidak lagi relevan dengan keyakinan tentang manfaat candi tersebut, masyarakat disini sudah sejak lama memeluk agama Islam. Walau sampai di awal awal masa orde baru (masa kanak-kanak guruKATRO) masih sarat dengan keyakinan Budha. Itu terbukti dengan adanya keyakinan malam satu suro, ritual sedekah bumi, sesajen dan lain lain, padahal saat itu mereka semua sudah beragam Islam dan melaksanakan Shalat lima waktu.

Sekedar tahu saja, tempat tinggal guruKATRO hanya sekitar 500 meter arah utara dari Candi Pangkuan.

Disebut Candi Pangkuan konon candi itu memiliki khasiat bisa membuat seseorang yang mampu (lulus) melakukan ritual memangku candi tersebut selama 40 hari 40 malam sambil berpuasa penuh selama memangku, maka dia akan mendapatkan kekuatan super atau menjadi kaya raya atau menjadi orang yang dimuliakan, tergantung niat sang pelaku ritual. Dan selama menjalani ritual itu harus sambil duduk di kursi batu yang tersedia disana



Walau pada kenyataannya, dari usia balita hingga kini menjelang pensiun, guruKATRO belum pernah melihat atau mendengar ada orang yang hanya sekedar mencoba sekalipun melakukan ritual tersebut.

Kenyataan yang cukup menarik adalah bahwa cagar alam yang kurang terawat itu sering sekali dikunjungi oleh orang dari berbagai penjuru, ada yang hanya sekedar melihat lihat dari luar saja, ada yang rela menembus masuk kedalamnya.

Yang paling menarik dan merupakan hal paling baru disitu adalah bahwa sejak beberapa tahun terakhir, kera kera penghuninya kini jadi jinak jinak agak liar, dikatakan jinak karena kera kera tersebut kini sudah bisa cuek bila didekati pengunjung, apalagi bila pengunjungnya memberi sekedar makanan, kera bisa seperti sangat akrab dengan manusia.




Dikatakan liar maksudnya kera itu sering juga memaksa minta kepada ibu/perempuan yang tengah lewat dijalan dengan membawa sesuatu, jadi banyak yang takut melalui jalan tersebut bila sendirian dan membawa sesuatu. Tapi hal itu bisa dengan mudah diatasi dengan menyiapkan seraup makanan, bila kera hendak merampas apa yang kita bawa, berikan saja makanan yang telah dipersiapkan, pasti kera akan sibuk mengurusi makanan yang diberikan itu dan membiarkan kita berlalu.

Yang uniknya lagi adalah jenis tumbuhan yang ada disana, hampir semuanya berjenis hutan (julukan orang lokal), misalnya ada pohon nangka, kata orang orang tua, itu jenuis nangka hutan, sehingga sekalipun bentuk dan aroma buahnya sama persis dengan yang ada di perkampungan, namun tidak mengandung rasa manis dan sangat hambar, juga sejenis pohon anggur, gowok, dan jenis jenis buah yang lainnya, namun hampir semuanya tidak memiliki rasa yang enak dimakan manusia.

Inilah pohon yang telah terkenal sejak lama, pohon yang daunnya mirip pohon lontar (orang setempat memberi nama pohon sadang), 


Pohon yang kecil namum menjulang tinggi itu waktu guruKATRO masih usia kanak sering banget ngambil daunnya yang telah jatuh beserta pelepah untuk dijadikan mainan kipas kipasan. Disasna juga ada pohon rotan, dari jenis rotan terkecil hingga rotan dengan batang yang besar. 



Rotan inilah yang kadang membuat geram pengelola dan juga penduduk sekitar, karena kadang masih saja ada pengunjung yang mengambilnya, walau hanya sedikit.

Saat ini pepohonan tua itu sudah mulai rapuh, ada beberapa yang sudah tumbang, tapi sama sekali bukan karena ulah tangan manusia, melainkan karena faktor usia.


NB : tidak semua orang tua guruKATRO sedot informasinya .... Besar kemungkinan ada beberapa versi cerita yang berbeda, kami yang menulis ini disini hanya bisa mohon maaf yang sebesar besarnya bila ada cerita yang tidak sesuai dengan keyakinan anda.

Komentar